Angkringan, begitu kita biasa menyebutnya, sesuai dengan namanya, angkringan berasal dari kata "angkring", yang ternyata setelah saya nyari di KBBI ONLEN, artinya adalah pikulan, alat untuk memikul, kenyataan pahit memang, saya pikir begitu mudah mencari definisi kemudian menghubungkan dengan istilah yang kita punya. setelah ketemu makna Lughowi atau bahasa nya,
ternyata otak saya seakan ke-stun (dibaca : mandek atau terhenti pada suatu titik) oleh sesuatu sehingga menjadi beku. Analisis saya, angkring berarti pikul, pikul itu kan membawa suatu beban, benda, dimana pikul tidak harus selalu dipanggul diatas bahu, seiring perkembangan bahasa, arti kata pikul ini juga mengalami perluasan makna, disini yang dimaksudkan memikul pada kata angkring mungkin membawa sesuatu (berupa grobak yang yang dicitrakan sebagai angkrig itu sendiri (benda bukan sifat), dimana benda itu (grobak), didalamnya terdapat segala yang dijajakkan untuk pelanggan.
oke, disini saya bukan mau berbelit belit mengartikan, menafsirkan perkembangan dan sejarah angkring itu sendiri, jadi paragraf pertama diatas NGGAK PENTING!!!
Saya kurang tau dan malas tau, segala sesuatu yang saya tulis di blog ini bukan merupakan kopas, nyaris tanpa kopas dari web lain soalnya (selain gambar dan link tentunya), setau saya angkringan berasal dari kalo gag jogja ya solo, dua kota yang termasyhur dengan kekentalan budaya masing masing, dan nasi kucing diantara makanan yang identik dengan angkring, angkringan ini dicitrakan sebagai makanan para sub-urbaners-sub-urbaners yang maaf, mungkin (walaupun tidak selalu) notabenenya masyarakat golongan menengah ke bawah, sehingga makanan yang dijajakkan di angkringan ini mayoritas dibandrol dengan harga yang pas di kantong. Yang saya garis bawahi disini bukan kelezatan nasi kucing, kesegaran dan nyegrak di telak nya jahe anget, sendale mas mas angkring yang wes kumuh dan bukan semuanya. Lalu?
Disini saya melihat segi positif angkring di era serba mister burger ini, angkring kini juga hadir di kota kota besar, jogja contohnya (eh, jogja bukannya termasuk kota sedang ya?, ah susah nyari contoh kota lain sih soalnya), di daerah perkotaan, kini telah banyak dibuka kedai-kedai angkring moderen nan gaholl (soalnya yang dateng bukan hanya orang orang kurang gahol, namun yang gahooll banyak, (eh, kenapa nulis gaulnya jadi alay gitu ya?)), bahkan menurut pandangan banyak orang, bisnis kedai angkring kini merupakan salah satu bisnis yang lumayan menjanjikan, bagi kaum eksmud. walaupun di daerah kota jogja, angkringan yang bukan kedai, angkringan pada arti sesungguhnya tumbuh subur seperti rumput liar di lahan kosong <-- itilah sebenarnya "seperti jamur di musim hujan". Ini sebenarnya merupakan inti dari tulisan saya kali ini, kaum urban dipandang sebagai kaum yang lagi lagi menurut saya , cacat akan sosialisasi, disini angkringan hadir sebagai media sosialisasi bagi kaum urban yang identik dengan ke-individuan-nya sehingga kurang memandang keluar, kurang peka konsisi di luar rumah. Dengan hadirnya angkringan itu sendiri, mereka menjadi (terpaksa harus) ikut peka dan srawung dengan lingkungan, semua tak luput dan bertolak dari point budget dan lokasi yang begitu oke dan maha.
Sudah.
ternyata otak saya seakan ke-stun (dibaca : mandek atau terhenti pada suatu titik) oleh sesuatu sehingga menjadi beku. Analisis saya, angkring berarti pikul, pikul itu kan membawa suatu beban, benda, dimana pikul tidak harus selalu dipanggul diatas bahu, seiring perkembangan bahasa, arti kata pikul ini juga mengalami perluasan makna, disini yang dimaksudkan memikul pada kata angkring mungkin membawa sesuatu (berupa grobak yang yang dicitrakan sebagai angkrig itu sendiri (benda bukan sifat), dimana benda itu (grobak), didalamnya terdapat segala yang dijajakkan untuk pelanggan.
oke, disini saya bukan mau berbelit belit mengartikan, menafsirkan perkembangan dan sejarah angkring itu sendiri, jadi paragraf pertama diatas NGGAK PENTING!!!
Add caption |
Saya kurang tau dan malas tau, segala sesuatu yang saya tulis di blog ini bukan merupakan kopas, nyaris tanpa kopas dari web lain soalnya (selain gambar dan link tentunya), setau saya angkringan berasal dari kalo gag jogja ya solo, dua kota yang termasyhur dengan kekentalan budaya masing masing, dan nasi kucing diantara makanan yang identik dengan angkring, angkringan ini dicitrakan sebagai makanan para sub-urbaners-sub-urbaners yang maaf, mungkin (walaupun tidak selalu) notabenenya masyarakat golongan menengah ke bawah, sehingga makanan yang dijajakkan di angkringan ini mayoritas dibandrol dengan harga yang pas di kantong. Yang saya garis bawahi disini bukan kelezatan nasi kucing, kesegaran dan nyegrak di telak nya jahe anget, sendale mas mas angkring yang wes kumuh dan bukan semuanya. Lalu?
Disini saya melihat segi positif angkring di era serba mister burger ini, angkring kini juga hadir di kota kota besar, jogja contohnya (eh, jogja bukannya termasuk kota sedang ya?, ah susah nyari contoh kota lain sih soalnya), di daerah perkotaan, kini telah banyak dibuka kedai-kedai angkring moderen nan gaholl (soalnya yang dateng bukan hanya orang orang kurang gahol, namun yang gahooll banyak, (eh, kenapa nulis gaulnya jadi alay gitu ya?)), bahkan menurut pandangan banyak orang, bisnis kedai angkring kini merupakan salah satu bisnis yang lumayan menjanjikan, bagi kaum eksmud. walaupun di daerah kota jogja, angkringan yang bukan kedai, angkringan pada arti sesungguhnya tumbuh subur seperti rumput liar di lahan kosong <-- itilah sebenarnya "seperti jamur di musim hujan". Ini sebenarnya merupakan inti dari tulisan saya kali ini, kaum urban dipandang sebagai kaum yang lagi lagi menurut saya , cacat akan sosialisasi, disini angkringan hadir sebagai media sosialisasi bagi kaum urban yang identik dengan ke-individuan-nya sehingga kurang memandang keluar, kurang peka konsisi di luar rumah. Dengan hadirnya angkringan itu sendiri, mereka menjadi (terpaksa harus) ikut peka dan srawung dengan lingkungan, semua tak luput dan bertolak dari point budget dan lokasi yang begitu oke dan maha.
Sudah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar