Perlu kiranya saya memohon maaf, apabila
tulisan ini hanya akan menjadi satu bagian dari segmentasi tulisan kumuh (baik
dalam maupun tidak dalam tanda kutip) di dunia….
Iya, saya berfikir, anda tidak salah
membaca. Berfikir mengenasi sesuatu yang akhir akhir ini memenuhi salah satu
bagian lorong memori otak saya. Bukanlah bisa disebut sebagai manusia yang
“manusia”, seseorang yang tidak peduli dengan lingkungan, gejala gejala yang
terjadi di sekitar, hal hal yang “bersentuhan” (bersentuhan tanpa tanda kutip
juga) baik langsung maupun tidak dengannya, dan hal hal yang mungkin seorang
sosiolog yang bisa menguraikan nya lebih lanjut. Saya hanya tidak sengaja masuk
dalam sebuah dunia yang mana orang orang sering kali salah (termasuk saya
sebelumnya) dalam memandang hal ini, DUNIA PERPUSTAKAAN, BUKU, Biblio, Boek,
Book, ngelmu, tulisan, utawa sekabehane
ukara ingkang saget migunani marang liyan kang diserat maring dluwang ingkang
dikempalaken dados setunggal begitu kira kira menurut bahasa nenek moyang
saya (italic font, redaksi maupun isi nya murni dari pendapat saya, ya kira
kira seperti itu, kira kira). Hal ini bermula dari usaha ceroboh saya melakukan
error gambling pik pik ndi tak kiro apek
iki, dan upaya gambling bla bla
bla tadi hanya membuahkan pemikiran saya ini.
Dunia Perpustakaan, begitu katanya.
#menirukan gaya kak seto ketika akan memulai sebuah dongeng. #suasana lengang.
Lebih khusus saya akan bercerita mengenai
profesi dalam dunia perpustakaan, pustakawan (bukan OB perpustakan, bukan
petugas pengantar koran ke perpustakaan, bukan petugas TU yang mampir ke
perpustakaan, bukan pak bon yang diangkat jadi pustakawan, bukan guru yang di
mutasi ke perpustakaan, dan bukan bukan yang lebih tidak masuk akal lagi
–perpustakaan). Pustakawan dengan petugas perpustakaan tentu dua hal yang
secara kasat mata hampir sama, namun ternyata memiliki perbedaan yang harusnya
tidak akan saya jelaskan disini, tapi di Tugas akhir saya kelak. Yang jelas
berbeda (biarlah hal tersebut tumbuh menjadi sebuah retorika bagi kita). Segala
sesuatu di dunia ini hendanya memiliki sebuah pakem atau etiket masing masing, bukan kode etik tentang jabatan
yang berhubungan dengan capital tentu, namun lebih kepada moral.
Mulanya ilmu perpustakaan sendiri dianggap
sebagai seni/art, sebelum pion pion ilmu perpustakaan bermunculan, seperti
Dewey (yang menciptakan Dewey Decimal
Classification, teman dai Bibi Bokken dalam cerita “Perpustakaan Ajaib Bibi
Bokken”), dan tokoh tokoh lain nya (sebenarnya yang saya ketahui hanya Dewey).
Banyak orang orang sekitar saya, kerap kali tidak menerima lagi pengertian
tentang perpustakaan sama dengan sebuah ruang yang bla bla bla…, namun
perpustakaan kini disebut sebut sebagai tempat pelestarian pengetahuan,
preservation of knowledge, bahkan ada yang “tega” menyebut pustakawan sebagai
Agent Of Change jelas 2 jargon terakhir terasa semakin men- cetar membahana-kan
kami, namun apa yang dapat di realisasikan dari pengertian bergengsi tadi?
Sebuah tanggung jawab besar, sangat besar, sebab di lapangan kini pekerjaan
kami juga hanya olah sana, olah sini, katalog sana, katalog sini, otomasi sana
sini, ya memang hal ini merupakan teknis yang tidak kalah penting, namun
tanggung jawab moral yang diemban bukan hanya untuk olah sana olah sini dan
sana sini blab la bla lain nya, ya memang misi bawah tanah di atas dapat kita
realisasikan kelak ketika telah berada pada “medan berdarah” yang sesungguh
sungguhnya. Pustakawan haruslah menjadi bunglon, hendaknya seseorang harus
menjadi sosok pustakawan yang adaptif, mampu menyesuaikan kental nya atmosfer
yang ada di sekitar nya. Seorang pustakawan pada sebuah perguruan tinggi,
hendanya mampu menjadi sosok terpelajar, pendidik dan mengayomi civitas
akademika, nah mengayomi, disini ada satu point penting nya. Begitupun pada
perpustakaan yang mengekor pada sebuah instansi yang bergerak pada bidang
kesehatan, hendaknya pustakawan mampu menjadi sosok yang mampu mendiagnosa
berbagai macam “penyakit” literasi, permasalahan pencarian sebuah informasi
mauun informan yang baik, begitupun pada badan induk lainnya. Ya, semua profesi
tentu punya tanggung jawab moral, loyalitas dan dedikasi serta kredibilitas
yang tinggi atas asas masing masing. Begitu saya mengakhiri tulisan brilian ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar