Pages

"Kantong ketawa anda memang suatu anugrah paling indah yang tuhan pernah kasih, hendaknya digunakan sebaik baiknya, dan jangan berlebihan sebelum sindrom tuna ketawa menggerogoti hidup anda"

Senin, 01 September 2014

Jangan ada klise diantara kita



Dendeng ikan bawal itu menjadi santapan terakhirnya hari ini. Ruminah dengan tergesa-gesa merapikan sisa alat dapur yang masih tergolek di ruang tengah. Rumah kayu tepi danau itu satu-satunya peninggalan moyangnya, termasuk dirinya. Kecipak air adalah teman yang sangat setia, lebih setia dari dirinya bahkan. Sesimpul senyum dua anak manusia, dalam frame kotak sederhana itu kekasih abadinya. Projo dan Ruminah, pernah menggemparkan dunia. Projo dan Ruminah dikala muda sebenarnya pasangan yg biasa2 saja, tapi berkesan. Projo dan Ruminah dalam frame kayu yang telah lapuk karena terlalu sering terkena tetesan hujan itu terlihat begitu bersemangat, keduanya terlihat polos, di tengah taman kota itu mereka saling melempar senyum kagum, senyum yang mereka pikir tak kan pernah hilang seumur hidup. Senyum yang selalu tersimpul ketika merasa digoda, senyum yang tiba-tiba senyap ketika kecewa, senyum yang ambigu, yang sejuta makna, yang memancarkan semburat jingga seperti senja.



Frame yang seakan hidup itu mengandung serbuk ingatan, yang ditaburkan ruminah ke ubun-ubun nya. Projo yang kekar dan kelakarnya tenang. Madu telah busuk dimakan serigala malam, berganti darah yang clemotan di antara taring-taringnya. Suaranya parau tersendat-sendat, mirip seperti kaset pita yang terlalu sering diputar.

Ruminah yang kumal penuh bercak bekas bumbu dapur, mengaca dalam lamunan riak danau. Ia sedikit merasa masygul, terbelenggu oleh taburan serbuk mimpi di ubun-ubunnya yg mulai lunak. Berkaca pada danau. Berkaca pada masa lalu, berkaca pada takdir Sang Hyang Widi yang ia masih yakini, kekuatan membolak-balikkan yang siang menjadi malam, datar menjadi gelombang, dangkal menjadi tak bertepi, bahkan dunia dilipatnya menjadi keping atom yang sekali sentuh hilang sudah kepala-kepala keras kita.
Ruminah membasuh muka dengan dingin air danau pagi itu, dan mengemasi wadah dari anyaman bambu, melangkah ke hutan, dan kembali dengan kembang setaman dan harum dupa yang langsung membunuh gaung yang sedari tadi memantul-mantulkan ironinya, dari pot usang, ke kaca retak, kemudian terjun ke langit-langit, seperti komet, tak tersentuh. Sejenak hening, suara gemericik air yang sedari tadi ditimbun ruminah dengan ember itu makin penuh, seperti sebuah instalasi sederhana, reka ulang pembunuhan, semua seakan di dramatisir melebihi fakta nya. Waktu berjalan begitu lamban di ruangan itu, sementara di ruang lain, semua sibuk saling menawar, buang-buang waktu yang semakin mahal melebihi Si Pembuat waktu, terasa cepat sekali sampai kilatan halilintar tak digubris padahal tragis dan kronis. Dunia seperti terbagi dalam dimensi yang tak saling terhubung satu sama lain, segmentasi yang tak lagi masuk akal, tak hanya kelas bahkan sub kelas, sub sub kelas, sampai tak berujung dan bercabang-cabang seperti sel-sel tubuh.

Asap bau dupa mengepul, ada yang berbentuk bulat, ada yang lonjong tidak proporsional, ada pula yang tak berbentuk, seperti sekumpulan wajah yang minta di iba-kan.

Roh si Projo mengitari ruangan yang pengap dengan bau yang campur-aduk, bau dupa yang mendominasi, mendominasi bau tumpukan selendang yang kumal menahun, bau kayu basah yang menyengat, jejatuhan kelopak bunga bekas sembahyang, menyatu harmonis tanpa saling memanfaatkan kelemahan yang lain untuk menimbun kekayaan.

Roh si Projo seperti kebingungan mencari ruang untuk mendarat, sementara Ruminah mulai sadar akan kehadirannya.

"Kang Mas Projo", bisiknya pendek.
Lalu, Projo menjawabnya dengan isyarat yang memilukan.

Yogyakarta, 1 September 2014. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar