Tali tambang yang terdiri
dari lipatan berbuku-buku itu dilempar ke daratan, menghasilkan suara seperti
batang pisang yang jatuh di tanah lembab. "Gedebuk", benar-benar
seperti itu. Suara-suara mereka begitu parau, melompatkan seruan-seruan kotornya,
sambil menghembuskan nafas tembakau. Mulutnya memang tak pernah bisa lepas dari
tembakau, asapnya bercampur dengan udara amis dan kasar, atmosfer kasar begitu
kental memang. Tak bisa lah, berseru tak kencang, memang sudah tradisi. Berseru
kencang dan kotor menyatu dengan persaudaraan yang kental nan syahdu.
Kembala-kembala begitu kering
kerontang, sapi-sapi sulit mengganyang rumput, tak doyan ikan. Bisa-bisa mati
karena kebanyakan mengganyang sampah. Sampah-sampah yang memampatkan aliran
sungai, membentuk koloni sepanjang aliran sungai, menjadikan bakteri Escherichia coli tumbuh subur
menggerogoti jajahannya. Ditambah lalat-lalat hijau yang beterbangan seperti
pawai kampanya pilpres kemaren yang girang dan gila.
Kakek tua itu terpogoh-pogoh
berkeringat, membawa karavan berisi sekotak besar es batu. Sambil membenarkan
celana yang kendor, ia mencacah-cacah emasnya itu dengan palu kayu dan clurit
berkarat. Begitu lincah, hafal mana bagian yang harus dipukul-cacah-kan dan
mana yang harus ditinggal utuh. Tangannya begitu tebal seperti kulit badak, tak
terasa panasnya es yang melumer seperti lendir itu.
Orang-orang itu mulai
berunding di pangkalan solar yang kumuh tepi laut. Solar sudah seperti nasi,
merupakan produk primer. Suara sahut-menyahut bertalu-talu, keras, menukik,
menghantam dari atas, tepat di ubun-ubun. Muda mudi, perempuan berpakaian
setengah terbuka tak memakai kutang, anak usia tanggung berambut seperti
potongan kuda, kakek-nenek tua berambut putih memilukan, semua, bahkan kambing
gembalaan ikut nimbrung sok paham.
Kambing yang manusia dan manusia yang terkadang kambing.
Jalan di perkampungan nelayan
itu bergeronjal kasar, batu dan tanah merah menyatu di daratan yang miring dan
bercumbu dengan laut itu. Tidak seperti di kota yang halus dan bau bakaran
belerang setelah hujan. Hidung begitu dimanjakan disini, aroma seperti tai
kering, yang mungkin itu ikan kering yang mulai membusuk, bakaran ikan yang
menggoda, bau solar yang menyeruak di susul suara mesin berat yang membahana
membentuk harmoni irama seperti betotan contra bass swing jazz lawas.
Bapak-bapak itu pada
berbincang riuh, diatas kapal-kapal kayu yang terlihat kuat itu. Mendayu
bergoyang dihempas ombak sore yang pilu. Permukaan laut sore itu relatif
tenang, hanya sesekali berkecipak, bercanda dengan angin. Sore itu kapal sedang
akan berangkat, aku tak tahu kehidupan mereka 24 jam ke depan di jauh sana.
Ikan-ikan laut terjual habis,
sotong, ikan kembung, cumi-cumi, semua terlihat segat bugar. Dibungkus gentong
biru yang dibalut perlak plastik dan diikat rapi membujur melintang
mengelilinginya seperti globe. Wanita yang sudah agak tua itu menyiduk
segenggam sotong ke dalam gentong, dan memecah es agar tetep hangat, begitu
lincah. Sepertinya telah terbiasa.
Permukaan lantai tempat
pelelangan itu sangat licin, gadis-gadis kota yang memakai high heels itu
terlihat canggung berjalan menjaga keseimbangan, sambil sesekali menyeringai
menahan bau, terlihat begitu jelek parasnya. Saling tawar menawar, mencari satu
kesepahaman yang saling menguntungkan, gontok-gontok-an. Simbiosis yang
romantis.
Seorang pedagang kelontong di
dekat kilang solar itu sedang sangat sibuk dengan peraduan yang membuatnya
terus hidup. Galon-galon air, tumpukan makanan instan, ada pula tali pancing
yang menggantung dibalik pintu lipatnya. Ruangan toko itu memanjang, di
belakangnya terdapat ruang tamu dan dapur yang tertup kelambu berwarna hijau,
sesekali seseorang membenarkan letak nya karena sedikit terbuka ditiup angin
pantai yang hikmat. Sementara tamu-tamunya berbincang saling meledek,
sekumpulan teman lama nampaknya. Sang pemilik toko itu hanya sesekali menyapa
tamunya bukan untuk iseng, serba salah karena repot.
Suasana sore itu begitu riuh,
hilir mudik para imigran yang telah tak canggung lagi dengan dominasi pribumi,
penduduk dari kota yang sedang kebingungan memilih ikan untuk lauk,
wanita-wanita beruban duduk bertingkat saling memilah-milah rambut dan
bercengkrama menggunjing tetangga yang lupa tak datang saat hajatan minggu lalu,
semuanya berjajar dalam satu lipatan bumi yang berair, berangin kencang dan
kehidupan yang keras, namun tetap hangat.
Ujung Batu, Jepara, aku lupa tanggalnya,
namun aku menuliskannya 11 Agustus 2014.
Berjumpa dengan teman-teman lawas
yang tak pernah lawas.
namun aku menuliskannya 11 Agustus 2014.
Berjumpa dengan teman-teman lawas
yang tak pernah lawas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar