Pages

"Kantong ketawa anda memang suatu anugrah paling indah yang tuhan pernah kasih, hendaknya digunakan sebaik baiknya, dan jangan berlebihan sebelum sindrom tuna ketawa menggerogoti hidup anda"

Senin, 11 Agustus 2014

Sore di Kampung Nelayan



Tali tambang yang terdiri dari lipatan berbuku-buku itu dilempar ke daratan, menghasilkan suara seperti batang pisang yang jatuh di tanah lembab. "Gedebuk", benar-benar seperti itu. Suara-suara mereka begitu parau, melompatkan seruan-seruan kotornya, sambil menghembuskan nafas tembakau. Mulutnya memang tak pernah bisa lepas dari tembakau, asapnya bercampur dengan udara amis dan kasar, atmosfer kasar begitu kental memang. Tak bisa lah, berseru tak kencang, memang sudah tradisi. Berseru kencang dan kotor menyatu dengan persaudaraan yang kental nan syahdu.

Kembala-kembala begitu kering kerontang, sapi-sapi sulit mengganyang rumput, tak doyan ikan. Bisa-bisa mati karena kebanyakan mengganyang sampah. Sampah-sampah yang memampatkan aliran sungai, membentuk koloni sepanjang aliran sungai, menjadikan bakteri Escherichia coli tumbuh subur menggerogoti jajahannya. Ditambah lalat-lalat hijau yang beterbangan seperti pawai kampanya pilpres kemaren yang girang dan gila.



Kakek tua itu terpogoh-pogoh berkeringat, membawa karavan berisi sekotak besar es batu. Sambil membenarkan celana yang kendor, ia mencacah-cacah emasnya itu dengan palu kayu dan clurit berkarat. Begitu lincah, hafal mana bagian yang harus dipukul-cacah-kan dan mana yang harus ditinggal utuh. Tangannya begitu tebal seperti kulit badak, tak terasa panasnya es yang melumer seperti lendir itu.

Orang-orang itu mulai berunding di pangkalan solar yang kumuh tepi laut. Solar sudah seperti nasi, merupakan produk primer. Suara sahut-menyahut bertalu-talu, keras, menukik, menghantam dari atas, tepat di ubun-ubun. Muda mudi, perempuan berpakaian setengah terbuka tak memakai kutang, anak usia tanggung berambut seperti potongan kuda, kakek-nenek tua berambut putih memilukan, semua, bahkan kambing gembalaan ikut nimbrung sok paham. Kambing yang manusia dan manusia yang terkadang kambing.

Jalan di perkampungan nelayan itu bergeronjal kasar, batu dan tanah merah menyatu di daratan yang miring dan bercumbu dengan laut itu. Tidak seperti di kota yang halus dan bau bakaran belerang setelah hujan. Hidung begitu dimanjakan disini, aroma seperti tai kering, yang mungkin itu ikan kering yang mulai membusuk, bakaran ikan yang menggoda, bau solar yang menyeruak di susul suara mesin berat yang membahana membentuk harmoni irama seperti betotan contra bass swing jazz lawas.

Bapak-bapak itu pada berbincang riuh, diatas kapal-kapal kayu yang terlihat kuat itu. Mendayu bergoyang dihempas ombak sore yang pilu. Permukaan laut sore itu relatif tenang, hanya sesekali berkecipak, bercanda dengan angin. Sore itu kapal sedang akan berangkat, aku tak tahu kehidupan mereka 24 jam ke depan di jauh sana.

Ikan-ikan laut terjual habis, sotong, ikan kembung, cumi-cumi, semua terlihat segat bugar. Dibungkus gentong biru yang dibalut perlak plastik dan diikat rapi membujur melintang mengelilinginya seperti globe. Wanita yang sudah agak tua itu menyiduk segenggam sotong ke dalam gentong, dan memecah es agar tetep hangat, begitu lincah. Sepertinya telah terbiasa.

Permukaan lantai tempat pelelangan itu sangat licin, gadis-gadis kota yang memakai high heels itu terlihat canggung berjalan menjaga keseimbangan, sambil sesekali menyeringai menahan bau, terlihat begitu jelek parasnya. Saling tawar menawar, mencari satu kesepahaman yang saling menguntungkan, gontok-gontok-an. Simbiosis yang romantis.

Seorang pedagang kelontong di dekat kilang solar itu sedang sangat sibuk dengan peraduan yang membuatnya terus hidup. Galon-galon air, tumpukan makanan instan, ada pula tali pancing yang menggantung dibalik pintu lipatnya. Ruangan toko itu memanjang, di belakangnya terdapat ruang tamu dan dapur yang tertup kelambu berwarna hijau, sesekali seseorang membenarkan letak nya karena sedikit terbuka ditiup angin pantai yang hikmat. Sementara tamu-tamunya berbincang saling meledek, sekumpulan teman lama nampaknya. Sang pemilik toko itu hanya sesekali menyapa tamunya bukan untuk iseng, serba salah karena repot.

Suasana sore itu begitu riuh, hilir mudik para imigran yang telah tak canggung lagi dengan dominasi pribumi, penduduk dari kota yang sedang kebingungan memilih ikan untuk lauk, wanita-wanita beruban duduk bertingkat saling memilah-milah rambut dan bercengkrama menggunjing tetangga yang lupa tak datang saat hajatan minggu lalu, semuanya berjajar dalam satu lipatan bumi yang berair, berangin kencang dan kehidupan yang keras, namun tetap hangat. 


Ujung Batu, Jepara, aku lupa tanggalnya, 
namun aku menuliskannya 11 Agustus 2014.  
Berjumpa dengan teman-teman lawas 
yang tak pernah lawas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar