Hari itu, aku lupa tepatnya
jamberapa, yang jelas aku datang pertama kali. Aku berangkat dengan semangat,
melewati perpindahan udara yang memacu jantung bergerak tak stabil. Kaliurang
tak se dingin biasanya, kabut tebal yang menyerupai hempasan sutra berjumbai yg
dijemur di pinggir pantai. Sembribit kata orang.
Aku mewakili (dipaksa mewakili)
tempat kerjaku, menghadiri perhelatan bertajuk "sekolah pengelolaan
keberagaman" dari CRCS ugm. Aku merasa buruk. Ini pengalaman pertama ku
bertemu dengan orang bermisi sama dengan instansi ku. Orang-orang yg tak peduli
"nyawa"nya lagi, telah dihibahkan nya "nyawa" dan raga nya
buat manusia, katanya. Keberagaman di jogja (khususnya) adalah satu masalah yg
di kuras habis dalam acara "melelahkan" ini.
Dari apa (dan siapa) asal kata
"asli" itu? Hingga langkah-langkah nyata tindakan advokasi yang bisa
dilakukan untuk menjaga keagungan keberagaman.
Orang papua (temanku sendiri yang
bilang) bilang, kami dari ras malesiana, ada lagi yang bilang (mereka sendiri
yang bilang) kalau mereka berasal dari ras-ras jauh, sehingga bayanganku
tentang “orang asli” Indonesia buyar. Ya, siapa sebenarnya yang bisa dikatakan
asli Indonesia. Ibaratnya Indonesia adalah bus kota, aku datang terpogoh-pogoh
berlari mengejar, dengan tas ransel kumal aku slempangkan ditambah dua plastik besar
berisi kain kotor yang aku dijinjing, mengejar Indonesia.
Lingkup keberagaman juga dibatasi
jogja saja, karena ada yg bilang kalau jogja => miniatur indonesia. Dari
jogja buat indonesia katanya.
Dari semuanya yang paling aku
sorot adalah masalah toleransi antar agama, yang beberapa waktu yg lalu telah
banyak tindakan para "ekstrim" menodainya. Aku berpendapat bahwa
pendidikan keberagaman harus dimulai dari keluarga. Aku hidup (makan) dari
kebaikan orang-orang kristen (aku sendiri muslim). Bapaku adalah seorang
seniman fungsional, pembuat peti mati dan rata-rata "konsumen" nya
adalah orang kristen. Sehingga aku terbiasa melihat salib, dan simbol2
kristiani lain. Dan bapaku terlanjur mengajarkan kepadaku bahwa tidak ada
masalah apapun mengenai pekerjaannya. Stimulus positif secara tidak langsung
merasuki ku (dan keluargaku) sejak kecil. Bapaku sering bilang kalau
"orang kristen itu baik" tak pernah menyinggung "perbedaan"
secara teologi diantara kami. Padahal bapaku (dan keluargaku) tergolong umat
islam taat.
Aku membawa "bencana"
saleh ini ke kehidupanku. Kemudian semua berubah seiring lentikan latu yang aku
pisahkan dari bara api batang rokok yang kuhisap dalam. Malam. Hilang..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar