Pages

"Kantong ketawa anda memang suatu anugrah paling indah yang tuhan pernah kasih, hendaknya digunakan sebaik baiknya, dan jangan berlebihan sebelum sindrom tuna ketawa menggerogoti hidup anda"

Jumat, 04 Juli 2014

Seonggok mayat yang tersenyum



Perempuan tua itu kembali lagi dengan cerita sedih keluarganya, "suamiku selingkuh, aku kurang kuat bagaimana coba?". Tukang rokok, tukang sate, tukang cukur rambut yang bagaimana orang bisa percaya dengan penampilan kumel nya, semua. Sampai ke lorong-lorong tersempit, batu pualam, air bekas soto yang seharian dijajakkan oleh penjual yang tidak kalah kumel dengan tukang cukur, kotoran kuda yang kering, gundukan aspal yang dahulu di gali dan ditancapkan entah apa namanya kemudian di tutup tidak sempurna menyerupai gunung kecil. Semua, bahkan penjual gudek ceker, bule yang terbirit mengejar alur jalan menuju penginapan yang entah aku tak tahu dimana. Ya, semua. Semua yang tampak bahkan oleh mata manapun. Yang terlihat maupun tidak.

 
Jalanan malam yang sibuk itu pecah seketika, perempuan tua yang sedari tadi mondar-mandir itu sudah meregang nyawa.
Burung gagak menyeruak, suaranya memekakkan telinga. Seonggok nyawa wanita tua, dikerubungi pelancong, yang seketika kehilangan selera ke-pelancongan-nya. Darah mengalir, seketika genderang duka di tabuh malaikat maut, memecah hening yang angkuh, angkuh seperti noda kerak pada bekas kaleng sarden sisa persediaan musim panas.
Kematian adalah takdir, namun adakah takdir yang konyol? akankah tuhan melempar lelucon pada takdir yang diciptakannya? takdir yang sombong. Sombong.
Wanita tua itu masih tersenyum, menampakkan gigi-gigi tua yang telah dihiasi jamur. Tubuh nya bercampur dengan kotoran kuda yang kering, gundukan aspal yang dahulu di gali dan ditancapkan entah apa namanya kemudian di tutup tidak sempurna menyerupai gunung kecil. Semua. Semua, bahkan gemericik suara air yang jatuh dari tumpahan kendi borot wadah kuah soto yang sudah penuh tambalan dimana-mana.
Di bawah gelapnya beringin tua, yang entah seberapa tua itu, seonggok tubuh manusia tua terbang ke kahyangan. Gelap yang ada di tengah terang. Semakin gelap dengan kematian sesosok mayat wanita tua yang tersenyum. Ini adalah jawaban pertentangan batin nya. Kematian. Wanita tua itu kini beriman pada kematian. Kematian yang merah merona, namun terkadang senyap, terkadang gersang seperti belukar, seperti dedaunan kering beringin yang berjuntai-juntai itu, seperti untaian takdir, seperti untaian takdir yang seakan dapat dijamah padahal fana.
Wanita itu seperti mengisyaratkan tak mau pergi. "suamiku selingkuh, aku kurang kuat bagaimana coba?", sepertinya mulutnya terus komati-kamit mengucap kata-kata tersebut, seakan tiap sukukatanya mengandung jinten hitam. "suamiku selingkuh, aku kurang kuat bagaimana coba?", tiap kata nya dihayati khidmat, syahdu, bagaikan prosa. "suamiku selingkuh, aku kurang kuat bagaimana coba?", dengingnya seperti bunyi harpa, bergelombang namun seperti cambuk, menyayat-nyayat. Sayatan perih yang terdiri dari alegori-alegori derita, syahdu namun mengharukan seperti alunan musik rosario.
Keramaian serasa tak acuh, hanya menjenguk sejenak, lalu sudah. Kembali ke peraduannya masing-masing, terbirit-birit, seperti kumpulan mayat yang mengiringi sebuah black parade. Ada yang menari tarian kematian, ada sebuah orkestra mayat, yang penyanyinya seperti kesurupan, kegirangan (karena keduanya beda tipis) menyanyikan Requiem Mass,
Day of wrath, day of anger
will dissolve the world in ashes*
Pemain biolanya seperti canggung, ujung bow nya dikerubungi lalat hijau yang terbang seenaknya menggerayangi alat penggesek biolanya. Bau busuk nya memang seperti candu bagi hewan pengerat. Pemain fluete menyeringai puas memandangi kawan berbadan besar nya itu.
Syair-syair, bau dupa para penyembah roh, peti mati bermotifkan perjamuan, lalu kembali ke syair-syair, begitupun selanjutnya, hingga ubun-ubun terasa digerogoti belatung. Disengat aliran listrik tegangan tinggi, kejang-kejang, gontai tak beraturan.
Wanita tua itu, wanita yang telah jatuh tak henti dirundung gelap. Wanita tua yang gigi-giginya merah, seperti darah, darah merah yang mampat menjadi biru, dan mengendap menjadi hitam. Semua toh memang kembali ke hitam, gelap, pekat.


*petikan lagu Requiem-Mozart
#‎Malam ketika aku menyusuri
 malioboro, aku lupa tanggal
tapi di bulan juni 2014
sebuah catatan tak berbentuk

1 komentar:

  1. Tau Liebster Award? selamat buat kamu! coba deh cek http://coffee-philia.blogspot.com/2014/07/first-liebster-award.html *note: bukan iklan obat kurus

    BalasHapus