Temaram
lampu berwarna biru senyap itu menderu menggrayangi mata Susito. Dalam ruangan
berukuran 2x3 meter itu terdapat sebonggol kepala yang dibungkus rambut tipis
lumayan panjang. Giginya kuning tua bergaris-garis seperti warna seng yang
berkarat. Kepulan asap rokok yang tak dimatikan dengan sempurna itu seperti
dengusan asap naga yang baru saja selesai memantikkan api. Mungkin ia
tergesa-gesa waktu mematikannya ke dalam asbak batok kelapa coklat itu,
berserabut, serabut yang bergelombang. Sesosok lelaki buta warna itu memiliki
nyawa, dan jiwa yang panas, tapi terkadang merintih kesakitan terhimpit jaman
yang semakin dingin, sinis, dan angkuh.
Pages
"Kantong ketawa anda memang suatu anugrah paling indah yang tuhan pernah kasih, hendaknya digunakan sebaik baiknya, dan jangan berlebihan sebelum sindrom tuna ketawa menggerogoti hidup anda"
Selasa, 22 Juli 2014
Selasa, 08 Juli 2014
Anak pembuat salib
Aku menggamit dua buah setangan
basah, baru tadi pagi aku menjatuhkan kopi rebus panas, hingga membasahi
seluruh permukaan setangan kain, yang serabutnya berjumbai-jumbai seperti
bawahan penari hula-hula, yang binal itu. Seketika aroma bacin menyeruak, rupanya
setangan itu adalah bekas mengelap telur busuk yang pecah karena lupa
diletakkan di dalam kotak penyimpanan lauk terlalu lama. Baunya sungguh
menusuk, langsung meluncur ke ubun-ubun, jika ingin berlebihan lagi, tembus ke
langit melalui jelaga yang pengap dan penuh aura jahat.
Aku menuruni loteng rahasia yang
tersusun dari kubik-kubik balok sisa gergajian tak simetris itu. Permukaan yang
licin membuatku blingsatan karena harus tetap seraya menjaga konsentrasi selagi
nyawa belum lagi terkumpul. Bau kayu tua nya serasa muffin hangat bertabur
coklat berlendir. Lezat.
Jumat, 04 Juli 2014
Seonggok mayat yang tersenyum
Perempuan tua itu kembali lagi
dengan cerita sedih keluarganya, "suamiku selingkuh, aku kurang kuat
bagaimana coba?". Tukang rokok, tukang sate, tukang cukur rambut yang
bagaimana orang bisa percaya dengan penampilan kumel nya, semua. Sampai ke
lorong-lorong tersempit, batu pualam, air bekas soto yang seharian dijajakkan
oleh penjual yang tidak kalah kumel dengan tukang cukur, kotoran kuda yang
kering, gundukan aspal yang dahulu di gali dan ditancapkan entah apa namanya
kemudian di tutup tidak sempurna menyerupai gunung kecil. Semua, bahkan penjual
gudek ceker, bule yang terbirit mengejar alur jalan menuju penginapan yang
entah aku tak tahu dimana. Ya, semua. Semua yang tampak bahkan oleh mata
manapun. Yang terlihat maupun tidak.
Langganan:
Postingan (Atom)