Aku menggamit dua buah setangan
basah, baru tadi pagi aku menjatuhkan kopi rebus panas, hingga membasahi
seluruh permukaan setangan kain, yang serabutnya berjumbai-jumbai seperti
bawahan penari hula-hula, yang binal itu. Seketika aroma bacin menyeruak, rupanya
setangan itu adalah bekas mengelap telur busuk yang pecah karena lupa
diletakkan di dalam kotak penyimpanan lauk terlalu lama. Baunya sungguh
menusuk, langsung meluncur ke ubun-ubun, jika ingin berlebihan lagi, tembus ke
langit melalui jelaga yang pengap dan penuh aura jahat.
Aku menuruni loteng rahasia yang
tersusun dari kubik-kubik balok sisa gergajian tak simetris itu. Permukaan yang
licin membuatku blingsatan karena harus tetap seraya menjaga konsentrasi selagi
nyawa belum lagi terkumpul. Bau kayu tua nya serasa muffin hangat bertabur
coklat berlendir. Lezat.
Bapak sedang sibuk sendiri,
menyusuri serutan-serutan kayu yang keras, membentuk pola-pola absurd yang
menurutku terlalu jauh dikatakan artistik. Lengkungan spiral, garit-garit yang
membelah ruang pahat menjadi sedikit lumer. Garis-garis yang tak berujung,
lancip, tumpul, bercabang, berbentuk persegi, meliuk-liuk seperti ular, semua adalah
lakon yang diciptakan bapakku, membiarkannya bertarung hingga mati
berdarah-darah adalah kegemaran bapakku. Bagaimana bisa, ruang yang sempit itu
di tombak-tombak dengan trisula raksasa sehingga tatal-tatal bercucuran
menggelayut sempoyongan jatuh ke tanah?
Bunyi tiap ketukannya tidak
terlalu nyaring, namun harmonis. Diiringi kepulan asap kretek yang sejak tadi
pagi sambung menyambung di belah geretan bergambar dua bola bumi. Semua terjadi
begitu saja, suara geretan, asap mengepul dan rentetan bunyi seperti suara
berondong senjata otomatis. Bau kayu basah, gas fosfor yang mencekik, tembakau
harum yang membelah pagi, bau tanah yang baru saja digagahi hujan, ranum dan
hijau, semua dibalut udara dingin yang hampir membekukan otak.
Bapakku seorang panglima perang
keturunan prajurit berkuda andalan roma, Praetoria Cohors, yang dengan gagahnya
mencabik-cabik kawanan musuh yang terlihat bengis. Dengan pakaian ksatria kokoh
miliknya, gaman-gaman yang tak kenal lagi santun, selalu diasah menggunakan
batu apung halus, bunyinya sangat menyayat, seperti bunyi fals harmonika kunci
G yang sudah berkarat. Bapakku setiap hari menyusuri bukit-bukit cadas, mencari
pemberontak yang menyusahkan kaum kami. Bapakku berbadan besar, jika ia
berjalan, seisi bumi gontai dibuatnya, bapakku memimpin seribu pasukan kuda,
menelikungi ruas danau ranau yang bening tapi mencekam itu, bapakku bersama
pasukannya tak kenal ampun, tombak trisula seperti milik baphomet itu selalu
dibawa sebagai sangu jikalau suatu
saat musuh mengincar bapakku dari punggung, bapakku begitu tak terkalahkan,
bahkan suatu ketika bapakku pernah bilang, "bahkan tuhan pun bisa aku
kalahkan, nak", tapi aku tak pernah mempercayainya, tapi aku tak pernah
membayangkan bapakku berperang melawan tuhan, bahkan tuhan mungkin tak sudi
berperang melawan bapakku.
Suatu ketika ada nelayan jauh,
dari inggris katanya, datang bersama kawanan perompak bersenjatakan capit hitam
legang di separuh tangannya, datang menemui bapakku. Namun seperti tebakanku,
bapakku tak gentar sedikitpun, langkahnya tak berpindah sekalipun lantai kayu
yang berkubik-kubik itu sangatlah licin seperti porselin, tak berdecit walau
satu nada. Aku pura-pura tak terperanjat, aku pura-pura kuat.
Suatu saat akan kugoreskan kisah
bapakku yang pemberani ini, akan kutulis dengan goresan darah, darah dari
lengan kanan dan kiriku, sekalipun tangan yang setiap hari ku tempa keras itu
berdarah-darah, aku tak gentar, aku akan menjadi seperti bapakku, aku akan
menjadi seperti bapakku yang kokoh, yang berbajukan baja tebal. Aku akan
menjadi kuat seperti bapakku, ksatria berkuda Praetoria Cohors kebanggaan
leluhur. Aku akan menjadi seperti bapakku, seorang pembuat salib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar