Temaram
lampu berwarna biru senyap itu menderu menggrayangi mata Susito. Dalam ruangan
berukuran 2x3 meter itu terdapat sebonggol kepala yang dibungkus rambut tipis
lumayan panjang. Giginya kuning tua bergaris-garis seperti warna seng yang
berkarat. Kepulan asap rokok yang tak dimatikan dengan sempurna itu seperti
dengusan asap naga yang baru saja selesai memantikkan api. Mungkin ia
tergesa-gesa waktu mematikannya ke dalam asbak batok kelapa coklat itu,
berserabut, serabut yang bergelombang. Sesosok lelaki buta warna itu memiliki
nyawa, dan jiwa yang panas, tapi terkadang merintih kesakitan terhimpit jaman
yang semakin dingin, sinis, dan angkuh.
Sebuah
dompet yang hanya tersisakan kartu tanda penduduk, yang tentu bukan miliknya,
sepertinya punya seorang wanita paruh baya yang sedang gila trend, berwarna
hitam lusuh, berbentuk setengah lingkaran, berhiaskan manik-manik emas, dan
rumbai-rumbai seperti pola celana dalam wanita. Disampingnya botol anggur merah
yang sengaja disisakan separuh, Molekul-molekulnya seperti melambai-lambai
ingin segera ditenggak, panas, dan beraromakan mistis. Tepat disamping tempat
tidur busa yang tak lagi tebal itu tergeletak pula pistol semi otomatis FN Browning HP yang cat pada pelatuknya
telah mengelupas karena terlalu sering digunakan. Susito terus mendengkur,
posisi tangannya membentuk sudut yang efisien seperti siap menarik pelatuk
pistolnya. Sesekali ia menggelinjang kaget karena mimpi buruk atau hanya karena
benda yang tak sengaja tersenggol tikus yang berkeliaran berpesta pora di malam
miliknya.
Dalam
mimpinya ia sedang diburu kawanan mafia meksiko yang terbirit-birit seperti
berkumur cairan jalapeno panas.
Kawanan orang-orang marah itu memperebutkan sebilah perkamen yang terbuat dari
kulit mammoth berisi peta harta karun atlantis. Susito terus melemparkan
hujatan dengan senjata api miliknya, tak tentu arahnya, berdesing-desing
membelah reruntuhan bangunan lawas yang telah berlumut dan lembab. Kawanan
berompi kulit dan setelan kemeja flanel kotak-kotak khas lumberjack serta bawahan jeans cutbray yang terseok-seok lars kulit
itu tak mau kalah. Suara senjata bersahutan seperti ayam yang melihat fajar
buatan, seperti dalam cerita Tangkuban Perahu.
****
Kemudian
ia terbangun. Lalu tertidur kembali. Pelan tapi pasti dengkuran itu semakin
menggoncang peredaran mimpi-mimpi yang gentayangan. Kali ini ia terjebak di
tengah Russian Roulette pada sebuah hutan yang hitam, seperti pada film "Thirteen"
yang dibintangi si kekar Jason Statham. Sebilah revolver itu diacungkan tepat
di kepala susito, yang sebelumnya sebutir peluru dimasukkan ke kantungnya
kemudian diputar. Keringat membasahi wajah kumalnya, menetes perih di matanya,
seketika tersayat. Satu peluru di kantung nya berputar perlahan dan semakin
kencang, membangkitkan arwah Flying Dutchman yang berputar-putar sambil
terkekeh.
Ia
kaget, terbangun, bersamaan dengan tikus yang mengerang kaget pula. Matanya
terbelalak, memandang sekitar, semua terlihat abu-abu seperti biasanya.
Penampakannya hitam, hanya urat mata lelah di ke dua bola matanya yang terlihat
merah, menandakan masih teraliri darah. Ia menyaut botol anggur merah yang
tersisa separuh, tapi kemudian mengurungkan niatnya. Hanya sedetik bergumam,
entah apa yang dikatakanya tiada yang tahu, dan tak mau tau.
Seekor tikus got yang baru keluar
dari sarangnya celingukan di sela-sela rimbun dan angkernya tumpukan barang.
Puluhan dompet, sebuah mesin pendingin berbahan bakar air, radio tua yang masih
memperdengarkan lagu-lagu tua pula, sepeda mini beroda empat, dan kacamata
matahari berbingkai tanduk gibon. Susito masih terbuai dalam mimpi-mimpi dimana
ia lebih nyaman berada di dalamnya.
Pada suatu sore di musim panas tahun
lalu, ia berkata entah kepada siapa, "sesekali aku ingin bermimpi
menyeberangi bayangan pelangi yang di ujungnya terdapat gentong berisi emas, ya,
seperti dalam cerita penghantar tidur itu". Tapi hingga malam ke 459
setelah satu-satunya impiann paling masuk akal nya itu, ia tak pernah mendapat
mimpiny. Tak apa, masih ada malam ke 460 bahkan lebih banyak lagi.
Dalam ruangan yang selalu gelap itu
terpancar sebuah keputus-asa-an, kesia-sia-an dan kebosanan. Bahwasanya roda
nasib tak benar-benar berputar, dan roda itu sendiri yang tak benar-benar
bulat. Mimpi, bayangan nasib, dan mitos mengenai harapan adalah satu peredaran
masa yang membosankan. Kosong yang abstrak dan abstrak yang sebenarnya kosong.
Dalam meditasi malamnya, Susito selalu teringat akan kenangan. Kenangan yang
bercabang, menggurita seperti instalasi listrik pada sebuah lokomotif kereta
malam yang gelap, yang selalu meraung berat dalam setiap peraduan malamnya.
Susito mengerutkan dahinya, agak
lama. Mungkin dia bermimpi tentang keledai yang ditunggangi pengembara padang
pasir, mengangguk-angguk seakan tahu apa yang benar, atau ia bermimpi tentang
kue lapis yang tak sempat ia habiskan kemarin, ia tampaknya bingung, baru
sekali ini seumur hidup ia bingung.
Ia terhenyak, kalangkabut, kemudian
keluar, seakan mencari peraduannya, baru sekali ini ia ingin mengadu.
“Mau kemana lagi, pak?”, tiba-tiba
suarakecil itu muncul,
“Sholat subuh, nak”, sahutnya
pendek.
Yogyakarta,
12 juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar