Belum lama ini aku menemui kerabat dekat waktu kuliah dulu. Pertemuan
yang lebih banyak terhabiskan oleh obrolan mengenai prinsip hidup.
Lingkungan begitu mempengaruhi pola pikir seseorang ternyata. Kami
sepakat bahwa saat ini mahasiswa masih banyak yang berpikir "satu tambah
satu sama dengan dua, harus dua" artinya lurus-lurus aja. Daya kritis
dan kreatifitasnya teralihkan pada anggapan tentang nilai yang salah.
Teknokrat. Terkadang memang harus bilang teknokrat, bukan sok akademis
atau menginginkan pengakuan kelas sosial, dan hal hal remeh temeh klise
lain. Namun jika dikatakan "berorientasi pada hasil" saja juga kurang
menurutku, jadi ada beberapa istilah yang memang harus diistilahkan
dengan bahasa asing atau serapan.
Kembali ke prinsip hidup. Aku tak begitu paham juga tentang dialektika formal Hagel secara mendalam, namun cukup paham mengenai tesis antitesis dan sintesa secara umum. Contoh saja ketika bicara hukuman mati, mati adalah peristiwa atau fase yang -tak boleh dipaksakan- dialami manusia. Manusia semua mengalami itu kan? Jadi ketika bicara mati, kita pertama-tama melihat pada manusia secara umum bukan? layakkah ketika kita membawa dasar se-lingkup keluarga misalnya (yang mana masih ada dalam satu keterikatan bahkan emosi personal, lain halnya keterikatan rasa dengan manusia secara umum), jadi, setuju kah kamu dengan hukuman mati (mati untuk manusia -sekali lagi-)? Adalah berbeda dengan setujukah terhadap hukuman mati (bila salahsatu anggota keluargamu yang harus dihukum mati)?
Memang -kata Pram- adil sejak dalam pikir adalah hal yang begitu berat nyatanya. Tapi sejatinya hal itu bukanlah pepatah murahan dan klise seperti apa kata banyak orang di media komunikasi elektronik bikinan manusia. Pepatah yang temporal, yang ini tidak!
Pada akhirnya yang membuatku terpukul dan prihatin sampai ke dasar adalah satu prinsip lagi mengenai tahap mengetahui sesuatu, informasi misalnya. Sayangnya aku bukan manusia pilihan yang dianugerahi kemampuan "Adimanusia" -kata Nietze-, mungkin temanku itu termasuk yang dipilih dunia. Sehingga untuk mengetahui sesuatu aku harus telaten, tahap demi tahap harus ku lalui, hingga sistematika fase yang rapi harus ku tempuh, perlu komparasi, perlu uji pemahaman, jangan jangan ini hanya permainan semiotis, dll. Aku bukan tipe yang visioner seperti temanku itu, tau inti nya dan keluar gua mengaku tuhan. Aku tak se jenius temanku itu, otak ku tak sampai jika berpikir dengan tempo cepat seperti itu, dia teknikal death metal sedangkan aku hanya blues yang penuh delay.
Kembali ke prinsip hidup. Aku tak begitu paham juga tentang dialektika formal Hagel secara mendalam, namun cukup paham mengenai tesis antitesis dan sintesa secara umum. Contoh saja ketika bicara hukuman mati, mati adalah peristiwa atau fase yang -tak boleh dipaksakan- dialami manusia. Manusia semua mengalami itu kan? Jadi ketika bicara mati, kita pertama-tama melihat pada manusia secara umum bukan? layakkah ketika kita membawa dasar se-lingkup keluarga misalnya (yang mana masih ada dalam satu keterikatan bahkan emosi personal, lain halnya keterikatan rasa dengan manusia secara umum), jadi, setuju kah kamu dengan hukuman mati (mati untuk manusia -sekali lagi-)? Adalah berbeda dengan setujukah terhadap hukuman mati (bila salahsatu anggota keluargamu yang harus dihukum mati)?
Memang -kata Pram- adil sejak dalam pikir adalah hal yang begitu berat nyatanya. Tapi sejatinya hal itu bukanlah pepatah murahan dan klise seperti apa kata banyak orang di media komunikasi elektronik bikinan manusia. Pepatah yang temporal, yang ini tidak!
Pada akhirnya yang membuatku terpukul dan prihatin sampai ke dasar adalah satu prinsip lagi mengenai tahap mengetahui sesuatu, informasi misalnya. Sayangnya aku bukan manusia pilihan yang dianugerahi kemampuan "Adimanusia" -kata Nietze-, mungkin temanku itu termasuk yang dipilih dunia. Sehingga untuk mengetahui sesuatu aku harus telaten, tahap demi tahap harus ku lalui, hingga sistematika fase yang rapi harus ku tempuh, perlu komparasi, perlu uji pemahaman, jangan jangan ini hanya permainan semiotis, dll. Aku bukan tipe yang visioner seperti temanku itu, tau inti nya dan keluar gua mengaku tuhan. Aku tak se jenius temanku itu, otak ku tak sampai jika berpikir dengan tempo cepat seperti itu, dia teknikal death metal sedangkan aku hanya blues yang penuh delay.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar