Hujan mengguyur kota malam itu. Belum terlalu larut, namun hilir mudik muda mudi tak se ramai biasanya. Hujan mulai berhenti seiring dengan aroma sendu kopi malam panas, asapnya seketika mengepul memenuhi ruang yang di bentengi dinding bambu. Anyamannya telah di selubungi jalinan debu yang berasal dari tua nya kedai legendaris itu, mengental di sela-sela nya. Sorot lampu sedikit menerangi ruangan, seketika terlihat guratan pola abstrak berwarna coklat kusam di ujung lipatan atap.
Terlihat semburat muka lelah, ku intip dari balik kacamata tua yang telah kusam, bergaris-garis di tiap ujung-ujungnya. Senda gurau tawa begitu semerbak di dalam frame yang dicetak di kain banner yang mulai kusut, tergambar keramaian kedai kopi di kala itu, di kala jaya menyelimutinya, sebelum wabah krisis menggerogoti perekonomian.
Gegap gempita politik mengakibatkan goncangnya perekonomian kelas bawah, tak menentu, bahkan tak jarang sejurus kemudian bangkrut, namun tidak ada kata bangkrut bagi perempuan tua dan lelaki yang juga tak lagi muda itu. Yang aku selalu lupa menananyakan namanya. Ah, tak penting pula.
Kopi telah di seduh, dengan gula terpisah yang di tuang dalam gelas kecil seperti penyaji ekspreso. Seperti biasa, perempuan tua itu selalu hafal.
"Di pisah saja ya gula nya, biar nanti tak terlalu manis, biar pas, biar kamu nggak ngomel melulu!", aku nyengir dan berlalu.
Sejimpit rokok telah dalam genggaman, siap untuk di sulut. "...buuuul", asam meliuk-liuk, halus melingkar seperti batu akik yang habis di asah.
Aku sendirian, tak ada pelanggan lain, sehingga aku leluasa memilih tempat. Di sebelah begitu geger, bunyi penggorengan, minyak yang telah panas menyeruak, bergesekan dengan tumisan bawang, yang aromanya menggiurkan, sehingga lidahku menggeliat sebentar. Warung penyetan, idola para mahasiswa sekitar kampus yang beken itu, yang mbak-mbak nya suka pakai celana gemas, padahal cuaca sedang dalam titik yang kurang cocok untuk berjemur. Namun aku tetap fokus pada kopi ku. Ku tuang gula se suka ku, ku aduk sehingga menimbulkan suara logam bergesek dengan kaca dan dibuai oleh kehangatan kopi, terlihat jelas gilingan yang kasar, namun tak apa lah.
Kopi yang asam kesukaanku, dengan iringan lantunan dangdut dari televisi dan lamat-lamat masing terdengar penggorengan serta dengungan suara kerumunan muda-mudi. Masih sama seperti 3 tahun lalu, hanya saja dulu harus berjejal tempat, tak bisa fokus karena di kiri kanan dipenuhi omong-omong tak tentu, namun sekarang, aku lah raja! Sekarang aku bebas meneliti sudut-sudut meja yang seperti nya telah lapuk sehingga dibalut dengan kain banner bekas walaupun telah mengelupas, setidaknya sedikit estetis.
Ruang belakang tak lagi ada, entah, mungkin telah di jual guna menutup berbagai hutang, kamar mandi menjadi satu dengan dapur tempat meracik kopi, terlihat kompor yang dikangkangi wajan bertangkai kayu untuk memanaskan kopi, di sampingnya toples-toples kopi yang mulai habis tak di tutup dengan rapat. Mungkin tak sempat. Sesekali aku pura-pura ke kamar mandi, agar dapat mengamati dapur dan berbincang ringan dengan perempuan yang sampai sekarang tak tau nama nya, aku seperti Jason Statham, tak suka nama. Namun aku tak se dingin ia, lelaki botak dan dingin itu gagah walaupun dalam film "Redemption" ia tambil innocent, sebagai fans aku kecewa berat.
Realita nya, kedai itu telah reot, sempat aku bertanya kepada perempuan itu, ia hanya sesekali menjawab, "wah kemarin ramai mas, ini sih, pakai hujan segala", terlihat tulus dan jujur, namun aku tak pernah percaya. Si lelaki yang lebih mirip sastrawan manikebu Goenawan Mohammad itu hanya sesekali ikut numpang nyengir, mengiyakan. Pada akhir nya, fakta bahwa Kedai Manut (aku baru menyebutnya di akhir, karena bebar-benar lupa! Hal yang terlalu sering di ingat wajar nya rentan lupa, menurutku) tetaplah kedai kopi sederhana, kedai kopi yang masih tetap bertahan dengan kopi ala kadarnya, tetap bertahan dengan keangkuhan wanita dan lelaki yang telah mulai lapuk di makan usia, tetap bertahan di tengah gerusan kedai kopi-kopi modern yang menawarkan jasa-jasa prima, perangkat wi-fi sebagai penglaris, dipenuhi berjejal manusia-manusia posmodern yang menikmati sesi nongkrong dengan tanpa menikmati esensi, demi eksistensi sesaat. Bagiku, minum kopi tak hanya membeli kopi, namun membeli rasa hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar