Cuaca begitu terik, Solo terasa lebih panas daripada biasa nya. Angin kemarau meluluhlantagkan imaji imaji kotor, bayangan tentang masa muda ku yang perlente, yang mentereng dan hits. Aku dan Sardi seperti biasa dengan muka lenggang dan biasa saja memangku siku kananku yang terlalu kuyu untuk seorang bapak sepertiku, menopang dagu membuatku sepersekian detik lupa sekejap, bahwa dunia terasa lebih indah selama sepersekian detik ku. Ah, namun hanya lamunan gombal, basa basi sampah, merambat melalui gorong-gorong dan got yang seakan menjadi ironi tak tersampaikan di balik kemewahan parfum parfum dan bau roti mahal di sesak nya stasiun. Di muka stasiun Tirtonadi, memang benar menjadi nadi yang harus selalu berdenyut, agar anak anakku tak terlihat kering, selalu basah.
Ya, apa yang ku tunggu tak lama kemudian hadir di depan mataku, dan Sardi, rekan karir yang bagaikan Marx dan Engels, menggemparkan dunia kapitalis yang sombong seperti anjing, hanya menyalak nyalak tak karuan sambil menjulurkan lidah yang tak lama terlintasi daging. Anyir. Ini seperti mimpi, apakah aku mimpi?
Aku dengan mantapnya menaikkan kaki kanan ku, dibarengi dengan haturan doa kepada yang memberi rizki. Kernet memberikan kode kepada penumpang terbelakang, rupanya seorang belia yang sedang keranjingan gedget. Aku duduk di baris kedua terbelakang, sambil mengawasi sana sini. Yak, tepat. Pasangan muda bermuka berseri seri, memancarkan semangat muda, sepertiku dulu. Mereka duduk di barisan belakang, tepat di belakangku. Asyik sekali obrolan mereka, nampak sekali muka sumringah, muda berseri, roh terpancar masih suci, putih, slengehan dan saling berlomba menjadi lucu.
Sesekali aku meludah dan tak banyak lagi gerakan yang mencolok kulakukan. Sejurus kemudian Sardi yang tak banyak omong masuk dengan bau menyengat khas kaum proletar, bau matahari terpendar menyeruak memenuhi sekujur bus tanggung antar kota itu. Bus yang menuju arah tawangmangu siang itu terlihat lengang, tapi aku tak boleh menyerah.
Dengan gerakan spontan alami, sardi meludah, hingga terdengar oleh telingaku. Aku pun mengerti maksudnya. Ku gerakkan kaki ku mantap, menyusuri ruas kursi bus yang sumpek. Ku gerogohi dasbor belakang, mencari apa yang harus aku cari.
***
Kuharap kau terperdaya, seperti yang lain. Aku menjual iba seperti menjual emas.
***
Langit seakan terbelah, kahyangan bergoncang. Udara panas terasa dingin menusuk tulangku yang semakin terlihat di bawah kulit yang semakin gersang. Ku susuri jalan pulang, tanpa sekalipun menengok. Sebentar ku telan getir yang pahit. Darah yang merah terasa menutupi penglihatanku, segar seperti biasanya. Teras rumahku kosong seperti biasa. Tumpukan kayu yang diikat dengan bambu yang diiris sangat tipis. Gundukan gundukan pasir dan peralatan masak plastik ditinggalkan oleh si pemilik. Gedek gedek reot dan digerogoti pengerat di sana sini. Ah, bau tanah yang kusuka.
"Nak.. Dimana kau? Tak dirumah kah kau? Mana ibumu? Laparkah kau? Hari ini akhirnya kita makan"
Ya, apa yang ku tunggu tak lama kemudian hadir di depan mataku, dan Sardi, rekan karir yang bagaikan Marx dan Engels, menggemparkan dunia kapitalis yang sombong seperti anjing, hanya menyalak nyalak tak karuan sambil menjulurkan lidah yang tak lama terlintasi daging. Anyir. Ini seperti mimpi, apakah aku mimpi?
Aku dengan mantapnya menaikkan kaki kanan ku, dibarengi dengan haturan doa kepada yang memberi rizki. Kernet memberikan kode kepada penumpang terbelakang, rupanya seorang belia yang sedang keranjingan gedget. Aku duduk di baris kedua terbelakang, sambil mengawasi sana sini. Yak, tepat. Pasangan muda bermuka berseri seri, memancarkan semangat muda, sepertiku dulu. Mereka duduk di barisan belakang, tepat di belakangku. Asyik sekali obrolan mereka, nampak sekali muka sumringah, muda berseri, roh terpancar masih suci, putih, slengehan dan saling berlomba menjadi lucu.
Sesekali aku meludah dan tak banyak lagi gerakan yang mencolok kulakukan. Sejurus kemudian Sardi yang tak banyak omong masuk dengan bau menyengat khas kaum proletar, bau matahari terpendar menyeruak memenuhi sekujur bus tanggung antar kota itu. Bus yang menuju arah tawangmangu siang itu terlihat lengang, tapi aku tak boleh menyerah.
Dengan gerakan spontan alami, sardi meludah, hingga terdengar oleh telingaku. Aku pun mengerti maksudnya. Ku gerakkan kaki ku mantap, menyusuri ruas kursi bus yang sumpek. Ku gerogohi dasbor belakang, mencari apa yang harus aku cari.
***
Kuharap kau terperdaya, seperti yang lain. Aku menjual iba seperti menjual emas.
***
Langit seakan terbelah, kahyangan bergoncang. Udara panas terasa dingin menusuk tulangku yang semakin terlihat di bawah kulit yang semakin gersang. Ku susuri jalan pulang, tanpa sekalipun menengok. Sebentar ku telan getir yang pahit. Darah yang merah terasa menutupi penglihatanku, segar seperti biasanya. Teras rumahku kosong seperti biasa. Tumpukan kayu yang diikat dengan bambu yang diiris sangat tipis. Gundukan gundukan pasir dan peralatan masak plastik ditinggalkan oleh si pemilik. Gedek gedek reot dan digerogoti pengerat di sana sini. Ah, bau tanah yang kusuka.
"Nak.. Dimana kau? Tak dirumah kah kau? Mana ibumu? Laparkah kau? Hari ini akhirnya kita makan"
Solo, 1 agustus 2015. Sebuah pengalaman berharga.
Sebuah titik balik, dimana aku harus berpikir
untuk selalu adil sejak dalam pikir. Mencoba berpikir
bagaimana menjadi tidak teknokrat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar