Bedebam. Proolll!. Krompyang!.
Bunyi nyaring hantaman dua batu cadas yang sama-sama keras
nya. Klise sekali, sebab bagaimana pun narasinya, tetap itu-itu saja. Yang penting
aku hanya mencoba menjalankan fungsi diksi dengan baik. Aku suka mengumpat,
tapi susah sepertinya mengalahkan
Asu-Buntung nya Ahmad Tohari, mau progresif juga otak tak sampai. Antara mau
menatapnya secara naïf ataupun nanar penuh dendam, tetaplah sudah sama jadinya.
Konsensus telah dibunyikan bagaikan pledoi, jatuh tak bisa
disangkal. Sesal yang memerah membekukan darah yang mengalir. Sesal yang merah
memar bulat dan ungu di permukaannya. Sesal yang menghasilkan luka basah tak
kunjung kering. Aku tak tau lagi cara menanggapi kejadian yang begitu tiba-tiba
dan mendesakku tanpa perlu pembelaan dariku.
Batu yang saling bedebam-an tadi adalah kasar dua
permukaannya, sehingga saat rompal, jatuh lah kepingan remah kecil-kecil dalam
tanah tempat kedua nya. Mungkin itu batu kapur, sehingga mudah sekali rapuh,
namun bisa jadi kedua nya batu gunung, yang kata nya “cadas”. Remahan-remahannya
saling silang terduduk dalam tanah yang basah setelah hujan. Hujan di bulan
juni yang kata Sapardi adalah kuat, jadilah sendu dan mudah kalut.
Tak pernah ada yang menyangka semua akan hancur sedemikian
berantakannya, seperti bekas kuah siomay yang mungkin dengan sengaja kau clepret-clepretkan di tepi mulut mu. Sedangkan
aku tak mungkin mengeluarkan sapu tangan atau tanganku sendiri –apalagi- untuk
merapikannya agar mulutmu terlihat elok kembali. Kulit cabai nya kau tinggalkan
di gigi depanmu agar terlihat menor, membentuk lingkaran tak sempurna, ah
tidak, aku tak memperhatikan se detail itu. Aku sampai pada kondisi anomali. ANOMALI!
Tak kenal apa itu indah dan buruk, semua menjadi satu. Seperti batu yang telah saling
berhantaman, setelah membumi, tak ada yang tahu bagian mana punya siapa,
remahan mana milik batu yang mana. Apalagi setelah terkena hujan, angin, semua bias
dan tak peduli bagian mana, bersatu dalam angin dan hujan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar